Lembaga pendidikan kini mulai mengalami pergeseran nilai. Dulu, saat Ki Hajar Dewantara
menyadari keterpurukan pendidikan bangsa ini, beliau mendirikan lembaga pendidikan Taman Siswa dengan tujuan mengangkat harkat dan martabat bangsa ini dengan mencerdaskan anak-anak bangsa. Pendidikan yang dikenal saat itu adalah pendidikan
yang membuat manusia menjadi seorang manusia, pendidikan yang humanis, yang membuat manusia menjadi manusia seutuhnya, begitu ungkap Ki Gunawan, salah seorang staf pendidik di Taman Siswa. Bergulirnya sang waktu ternyata mampu mengubah wajah dunia pendidikan yang humanis terseret dalam arus kapitalisasi. Komersialisasi pendidikan menjadi salah satu potret buram pendidikan di Indonesia. Saat ini, ketika bicara sekolah, tentu tidak bisa lepas dari bicara
mengenai sejumlah dana yang harus disediakan orang tua atau wali siswa. Kita tidak lagi mengenal sekolah sebagai tempat untuk mengangkat harkat dan
martabat manusia, dengan pendidikan yang memanusiakan manusia lagi, tetapi sekolah
merupakan salah satu modal untuk mencari uang di kelak kemudian hari.
Fenomena tersebut tentunya disadari oleh banyak pihak yang bersentuhan dengan dunia pendidikan. Lima puluh persen lebih penduduk bangsa ini, yang pernah bersekolah atau menyekolahkan putra-putrinya, mengetahui permasalahan tersebut, apalagi pihak-pihak pengelola sekolah, dan pengambil kebijakan pendidikan. Pertanyaannya,
seberapa besar warga negara ini yang peduli dan mau berjuang untuk memperbaiki kondisi pendidikan Indonesia? SMA Ma'arif merupakan salah satu sekolah yg menjawabnya karena sekolah tersebut bukan hanya menelorkan manusia pandai mengolah pikir tetapi juga mampu bersaing di dunia kerja, seperti keterampilan berbahasa asing , kemapanan dalam bidang pertanian, peternakan maupun kecakapan dalam bidang teknologi dan informatika.
oleh karena hal tersebut sungguh sayang jika opini masyarakat bahwa SMA tidak bisa kerja!!! justru dapat dua2nya, pintar dan cakap
menyadari keterpurukan pendidikan bangsa ini, beliau mendirikan lembaga pendidikan Taman Siswa dengan tujuan mengangkat harkat dan martabat bangsa ini dengan mencerdaskan anak-anak bangsa. Pendidikan yang dikenal saat itu adalah pendidikan
yang membuat manusia menjadi seorang manusia, pendidikan yang humanis, yang membuat manusia menjadi manusia seutuhnya, begitu ungkap Ki Gunawan, salah seorang staf pendidik di Taman Siswa. Bergulirnya sang waktu ternyata mampu mengubah wajah dunia pendidikan yang humanis terseret dalam arus kapitalisasi. Komersialisasi pendidikan menjadi salah satu potret buram pendidikan di Indonesia. Saat ini, ketika bicara sekolah, tentu tidak bisa lepas dari bicara
mengenai sejumlah dana yang harus disediakan orang tua atau wali siswa. Kita tidak lagi mengenal sekolah sebagai tempat untuk mengangkat harkat dan
martabat manusia, dengan pendidikan yang memanusiakan manusia lagi, tetapi sekolah
merupakan salah satu modal untuk mencari uang di kelak kemudian hari.
Fenomena tersebut tentunya disadari oleh banyak pihak yang bersentuhan dengan dunia pendidikan. Lima puluh persen lebih penduduk bangsa ini, yang pernah bersekolah atau menyekolahkan putra-putrinya, mengetahui permasalahan tersebut, apalagi pihak-pihak pengelola sekolah, dan pengambil kebijakan pendidikan. Pertanyaannya,
seberapa besar warga negara ini yang peduli dan mau berjuang untuk memperbaiki kondisi pendidikan Indonesia? SMA Ma'arif merupakan salah satu sekolah yg menjawabnya karena sekolah tersebut bukan hanya menelorkan manusia pandai mengolah pikir tetapi juga mampu bersaing di dunia kerja, seperti keterampilan berbahasa asing , kemapanan dalam bidang pertanian, peternakan maupun kecakapan dalam bidang teknologi dan informatika.
oleh karena hal tersebut sungguh sayang jika opini masyarakat bahwa SMA tidak bisa kerja!!! justru dapat dua2nya, pintar dan cakap
3 komentar:
Ga kemana mana mas...pendidikan kita tuh di arahkan untuk penipu.
Trims
Iya benar Mas Udin Pendidikan kita ga ke mana - mana pokoknya masih disekitar lampe'ng ajibarang wetan
Posting Komentar